-Sukses atau belajar proses-

Sukses itu ada 2.

1. Sukses karena kerja keras sendiri.
2. Sukses karena bantuan orang tua.

Lebih nyaman mana? Lebih enak mana?
Lebih terasa yang mana? Jawabannya
adalah no.1

Orang tua perantara dan tujuan utama
kita sukses. Tetapi, sukseslah dengan cara
kita sendiri. Bukan karena harta orang tua
yang dirimu sendiri hanya belajar dan
bekerja di tempat ortu kamu.

Sukses yang puas itu, ketika kamu berusaha
sendiri. Ortu hanya sebagai penyemangat
dan doa kita. Sukses kita, sukses
kebanggaan ortu. Salah satunya, ketika kamu mengalami masalah dalam menghadapi impian. Nah! Di situlah kamu mulai belajar, mengintropeksikan diri untuk lebih maju. Jangan hanya mampu merengek dan meminta kepada Ortu saja.

Ketika kamu mulai merasakan jatuh untuk menggapai mimpi. Sekarang! Mulailah dengan melihat ke depan. Ada apa di sana? Siapa yang akan menunggu? Dan siapakah yang akan menggenggam hasilnya? Jawabannya adalah diri kita sendiri dan kesuksesan yang menanti.

Kalau kita hanya tergantung terhadap Ortu? Kemandirian kita tidak akan teruji. Bagaimana kita akan tahu tolak ukur yang sebenarnya? Kalau kita saja takut buat bangkit sendiri.

Mulailah!

1. Saat terjatuh, mulailah untuk menenangkan diri dari rasa shock jatuhmu itu.

2. Tarik napas sedalam-sedalamnya dan katakan, “Aku bisa bangkit! Tak takut mati!”

3. Berusaha sekuat tenaga lagi. Mendekat kepada-Nya dan berdoa agar diberi tuntunan yang baik.

4. Lakukan dan mulai dari awal untuk mencapai titik akhir.

5. Dan jangan pernah takut, ketika banyak orang mulai merendahkanmu.

“Karena sesungguhnya, orang yang merendahkanmu. Kelak akan mengemis untuk mencapai kesuksesan sepertimu.”

Sukses itu, sebanding dengan keringat yang menetes dan jatuh dari tubuhmu. Jangan takut lelah! Lawan kelelahanmu dengan semangat bara api.

Mau sukses? Jangan kebanyakan ngeles, Jangan malas! Jangan ngumpet di balik ketek orang tua terus.

Bangun pembenahan diri dan mental kita!

Salam: Nur Azizah

-Coretan Kerinduan-

-Rindu Padamu, Bu-

Nur azizah

Bu, ingatkah kenangan kita berdua semasa bersama. Duduk berdua, di depan televisi sambil bercanda. Aku dan Ibu, bermain bersama tak lekang oleh waktu. Kau berikan, sejuta perhatian untuk anakmu ini. Bu, ingatkah saat kita bercanda bersama. Kutidur, selalu kau temani. Kusakit, selalu kau rawat dengan manjamu. Walau kutahu Bu, kau tak pernah menunjukkan kemanjaanmu pada diriku. Kau selalu ajarkan aku, untuk mandiri sendiri menghadapi semuanya. Bu, ingatkah ketika aku dan kamu saling bertukar cerita. Aku menceritakan segala kehidupanku kepadamu. Kau selalu berkata, “Mereka hanya memandang keluarga kita dari kebahagiaan saja. Tanpa harus melihat kesedihan di dalamnya.” Bu… ingatkah ketika aku bertanya, “Apakah aku tak boleh memilih kehidupanku sendiri.” Engkau selalu menjawab, “Jika ibu bisa. Kau pilih hidupmu sendiri. Tetapi, semua sudah ada yang mengatur.”

Saat dulu kita bersama, nasihat dan semua perhatianmu selalu aku dapatkan. Masa indah, di mana kau selalu mengajariku tentang arti menjadi wanita sebenarnya. Kerja keras, dan kehidupan. Kau selalu ajarkan itu, Bu. Kau tak pernah mengajarkan aku apa itu harta di dunia. Walau aku tahu, kita memang bukan dari keluarga yang berada. Di saat kecil, kau antarkan aku mengaji. Hanya bermodal titip, kepada sang Ibu Guru. Kau taruh aku di antara, murid yang lain. Kau tinggal pulang, tanpa menunggu di masjid. Kau ingat, Bu? Saat hujan deras melanda, petir menyambar, sedangkan aku masih mengaji di masjid. Kau datang untuk menjemputku melewati hujan lebat, petir menyambar dan kegelapan. Aku terharu bu, dengan jalan kaki bermodal payung satu. Kau jemput anakmu pulang. Melewati hujan, kau tuntun gadis kecilmu ini. Betapa bahagianya aku, memiliki ibu sepertimu.

Ingatkah dirimu, Bu. Pada malam hari itu, kau bangunkan aku. Hanya karena sebuah hal. Namun, karena kumenangis, kau urungkan niat itu. Bu, ingatkah engkau ketika mengajarkanku bagaimana membaca huruf Al-Quran? Mengaji bersama Ayah. Bu, kau tak pernah memberikanku modal apapun, kecuali modal do’a dan akhlak beribadah. Bu, aku tak ingin menuntut semuanya darimu. Tetapi percayalah, semua jasamu akan kuingat.

Hanya dari tanganmulah, Aku mau kau suapi. Walau kutahu, kini kita telah berpisah. Aku harus mandiri, Bu. Mengejar semua impian ini tanpa dirimu lagi. Bu, setiap hari aku menangis menyebut namamu. Aku merindukanmu. Wahai ibuku.

Aku tak mampu melanjutkan tulisan ini. Karena aku tahu, kasih sayang Ibu tidak mampu tertuliskan.

Note: -Kasihmu tak tertulis, Bu-